Jakarta (ANTARA) - Kejaksaan Agung RI menghentikan 228 perkara melalui keadilan restoratif (restorative justice) sejak awal Ramadhan dari periode 22 Maret sampai 17 April 2023.
Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin, dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Jumat, mendorong Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) untuk memperhatikan penegakan hukum humanis, yakni penghentian perkara melalui keadilan restoratif, terutama di bulan suci Ramadhan.
“Keberhasilan penyelesaian perkara ini bukan hanya menjadi catatan Kejaksaan Agung, tetapi hikmahnya adalah membuka pintu maaf bagi mereka yang melakukan kejahatan,” kata Burhanuddin.
Burhanuddin mengatakan, mereka (tersangka) yang perkaranya dihentikan tidak perlu melanjutkan proses hukum sampai ke pengadilan. Sehingga dapat kembali berkumpul bersama keluarga merayakan Idul Fitri.
Menurut Burhanuddin, momen Ramadhan menjadi kesempatan bagi jaksa untuk mempertemukan tersangka dengan keluarganya, menjadi kunci utama perlindungan terhadap korban.
“Sehingga pendekatan dengan korban dan keluarga korban menjadi sangat berarti dalam mendapatkan kata maaf, sebab kunci utamanya adalah perlindungan terhadap korban,” katanya.
Meski demikian, Burhanuddin menegaskan, bahwa tidak semua perkara dapat dihentikan melalui keadilan restoratif, karena harus sesuai dengan Peraturan Kejaksaan RI Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Namun, lanjut dia, ada kemungkinan untuk merevisi persyaratan subtantif dalam peraturan tersebut seperti ancaman hukuman maksimal lima tahun dan jumlah kerugian Rp2,5 juta.
Kemungkinan itu, kata dia, karena melihat perkembangan hukum saat ini dan persyaratan di atas yang sudah tidak relevan lagi.
“Karena apabila bicara tentang keadilan, maka tidak bisa dikaitkan dengan angka, tetapi nurani dan kondisi riil para pihak dalam perkara tersebut,” katanya mengingatkan.
Burhanuddin kembali menekankan bahwa konsep dari penegakan hukum humanis adalah memanusiakan manusia, sehingga melalui keadilan restoratif maka memberikan perlindungan dan perbaikan terhadap korban untuk memperolah kesepakatan damai guna meminimalisir terjadinya resistensi di masyarakat, serta berdampak pada mengurangi biaya penanganan perkara yang saat ini sudah mulai dirasakan.
Sistem ini, kata dia, sudah mulai dianut oleh beberapa negara sistem hukum anglo saxon dan juga diadopsi oleh negara-negara penganut sistem hukum Eropa Kontinetal.
“Dalam penegakan hukum modern, keadilan tidak memiliki batas sistem, tetapi lebih memperhatikan pada kebutuhan masyarakat modern akan keadilan,” ujarnya.
Baca juga: Menkumham sebut keadilan restoratif di KUHP atasi "overcapacity" lapas
Baca juga: Penuntutan tiga perkara di Sumut dihentikan dengan keadilan restoratif
Baca juga: Pakar sebut keadilan restoratif hanya untuk tindak pidana ringan
Pewarta: Laily Rahmawaty
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2023